Sejarah Hati

Tugu Malang 1990

Sejarah adalah fakta tentang masa lalu, kini dan mendatang, termasuk yang terpahat dalam hati. *]

Sejak lahir ke dunia hingga usia dua tahun, tumbuh kepercayaan dan kecurigaan dasar yang dipengaruhi jalinan relasi timbal balik yang kuat dan tak terputuskan antara bayi dengan ibunya. Sebelum mengerti siapa dirinya, ia hanya bisa menyimpulkan bahwa dirinya adalah apa yang diberikan kepadanya.

Menginjak usia dua sampai lima tahun, secara bertahap tumbuh kesadaran bahwa dirinya berbeda dengan orang di sekitarnya. Apa yang diinginkan tidak selalu selaras dengan harapan orang lain, termasuk ibunya. Oleh sebab itu ia sering dihinggapi rasa bersalah, malu dan ragu, karena merasa telah menginginkan sesuatu yang tidak semestinya. Ia melihat dirinya sebagai apa yang ia kehendaki dan ia rencanakan.

Memasuki usia enam sampai dua belas tahun, ia bersentuhan dengan pengalaman baru yang cukup menganggu, kalau tidak bisa disebut menyiksa, yaitu menempuh pendidikan sekolah dasar (SD). Meskipun banyak anak-anak sebayanya mengajak bermain dan bercanda, ia tetap merasa sendirian dan terancam. Baginya berada di sekolah sama dengan mendiami ruang kosong dengan dinding-dinding dingin yang menatapnya penuh selidik. Kecemasannya mereda manakala ia merasa berhasil menyembunyikan rapat-rapat keinginannya yang dianggapmya memalukan. Berada dalam tekanan lingkungan ia tidak ingin menyerah apalagi menangis. Tapi dalam waktu yang sama ia juga kehilangan alasan untuk tertawa. Dari denting bel pertama hingga denting terakhir, tidak ada yang lebih mengusik perasaan selain kecemasan. Dalam ketidakberdayaan dan ketidak-inginannya untuk menyerah, ia menyamakan dirinya dengan apa yang ia pelajari.

Setelah terbebas dari ‘penjara’ SD, ia memasuki ‘penjara’ lanjutan, SMP. Di lingkungan baru ini kesadaran sosialnya bersemi. Ia mulai mengenal arti persahabatan dan ketertarikan terhadap lawan jenis. Meski belum sepenuhnya merasa bebas, dinding-dinding dingin yang mencemaskannya satu demi satu roboh. Di tahun ketiga ia menyimpulkan bahwa SMP adalah dunia kepalang tanggung dengan keindahan yang menawan. Terlalu pelit untuk memuaskan rasa ingin tahu, tapi juga terlalu berat untuk memahami semuanya.

Menginjak remaja, sekitar enam belas sampai dua puluh satu tahun, ia merasakan banyak perubahan. Semua seakan terjadi begitu saja. Alam kanak-kanak tiba-tiba beringsut pergi menjauh. Masa SMA berbunga sekaligus membingungkan. Alam transisional, dari masa remaja yang memabukkan menuju dunia orang dewasa yang membosankan. Tiga tahun membenamkan diri dalam persahabatan, kesetiakawanan, keusilan, pertikaian dan cinta, tidak ada yang lebih layak untuk dikenang selain bongkahan kenangan manisnya. Terlalu hanyut dalam alam SMA membuat remaja gagal mencium oroma kehidupan yang sesungguhnya. Buaian suasananya yang membius akhirnya porak poranda oleh suara gaduh canda tawa pesta perpisahahan. Lonceng keruntuhan negeri khayalan berdentang menelan semuanya. Tak ada yang tersisa selain kenangan.

Tanpa basa-basi, dunia orang dewasa yang membosankan itu akhirnya datang mendekap. Sekitar usia dua puluh tiga hingga tiga puluh lima tahun, merasakan ada beban berat di atas pundaknya. Meskipun dengan perasaan tertekan, ia merasa telah beranjak dewasa mencoba menjalin relasi sosial dengan orang-orang baru meski belum bisa sepenuh hati, tanpa kesan apapun. Ia sibuk berjuang menghindari cap pribadi kaku.

Semakin bertambah usia, semakin matang kepribadian. Pada usia sekitar tiga puluh lima hingga enam puluh lima tahun, ia merasa benar-benar memahami apa arti hidup ini. Secara intuitif terdorong menciptakan makna dalam setiap helaan nafas. Rasa tanggungjawabnya tidak lagi dibatasi kepentingan keluarga dan orang-orang yang disayangi, tapi mencakup masyarakat luas. Ia tidak ingin makna hidupnya menipis dan memudar hanya untuk mengejar peran-peran simbolik.

Bermodalkan sisa tenaga, pikiran dan segenggam iman, ia menghimpun serpihan-serpihan makna, disusun membentuk satu kesadaran. Ia ingin berdamai dengan dirinya sendiri. Tidak perlu ada kemuakan atau penyesalan, yang terjadi biarlah terjadi. Ia bertekad mengikhlaskan segalanya. Ia tidak ingin membuat pilihan, selain berserah diri pada apa yang sudah menjadi ketetapanNya. Jika akhirnya kematian datang menjemput, ia akan menyongsongnya dengan satu harapan, mendapat limpahan rahmat dan ampunanNya. 

*] Catatan sebuah hati yang terinspirasi dari Delapan Tahap Perkembangan Ego (Erikson)

Tugu, Malang, 21 September 2013