Di Tepi Jalan Kebenaran

Realita menunjukkan bahwa  memilih jalan hidup tidak hanya tentang memilih satu diantara sekian banyak pilihan, tapi juga konsekuensi, hambatan serta tantangan yang menyertainya. Memilih jalan hidup, baik atas nama keselamatan, pembebasan, kesuksesan, atau keutamaan, bukan keinginan yang sesungguhnya. Karena ketika apa yang dikhawatirkan terjadi, manusia tidak merasa cukup hanya dengan mengadu dan memohon pertolonganNya, tapi juga menggugatNya: “kalau cuma untuk menanggung penderitaan, mengapa Engau ciptakan diriku?”.

Andai memungkinkan, manusia hanya menginginkan kesuksesan (tanpa ada kegagalan), keuntungan (tanpa kerugian), sehat (tanpa pernah sakit), tetap muda (tanpa menjadi tua), dan hidup selamanya (tanpa ada kematian). Namun akal sehatnya menolaknya. Tarik-menarik antara kemauan dan ketidakberdayaan, harapan dan kenyataan, penyerahan diri dan pelarian, membuat manusia menjadikannya sebagai sebuah alternatif, menerima ketidakpastian sebagai kemestian. Mereka pun akrab dengan ketidak-utuhan, terbiasa menjadi diri yang terbelah. Lain di rumah lain di tempat kerja, lain saat beribadah lain ketika berbisnis. Nilai-nilai prinsipil kehilangan makna digantikan oleh ke-kompromi-an.Menjadi makhluk ambivalen yang terbiasa mencampur-adukan segala hal. Bukan hanya sekedar pilihan yang paling memungkinkan, tapi juga sebagai kebenaran. Manusia tidak tahu di mana seharusnya berdiri. Gagal memahami hakekat jalan hidup bahwa apa pun namanya dan berapa pun banyaknya, tidak lain hanyalah kepanjangan dari dua jalan, haq dan batil (QS 90 : 10).

Demi memuaskan relativisme-nya, manusia mempertahankan ilusi jalan ketiga, yaitu jalan setengah-setengah (bukan jalan tengah) yang sejatinya bukanlah sebuah pilihan, melainkan sebuah tepi dua jalan (QS 22: 11), tempat bersemayam kebenaran palsu.