Kegilaan Berguna

Untuk menentukan normalitas periaku seseorang biasanya dihubungkan dengan norma atau etika yang berlaku umum. Dengan kata lain, normal-tidaknya perilaku seseorang tidak bisa dilakukan dengan serta merta, mengingat hal tersebut berkaitan erat dengan nilai-nilai budaya. Di Amerika, “diam” bisa dianggap kurang senang. Di Timur, “diam” diartikan menghormati yang lebih tua.

Disisi lain, terhadap mereka yang memiliki kemampuan ‘luar biasa’, yang berbeda dengan kebanyakan orang seperti atlit, seniman atau ilmuwan dengan reputasi yang mendunia, dapat dipastikan tidak akan disebut sebagai bentuk ketidaknormalan (perilaku abnormal). Mereka justru mendapatkan apresiasi, bahkan tidak jarang ditokohkan sebagai sosok idola sebagaimana para bintang lapangan sepakbola.

Namun demikian, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan kepada mereka yang berperilaku “luar biasa” tersebut, menunjukkan adanya potensi ketidakstabilan mental dibalik keluar-biasaan tersebut. Felix Post (1994) menebitkan survey kepribadian di jurnal The British Jour-nal of Psychiatry terhadap 291 pria terkemuka dari berbagai profesi, menunjukkam adanya korelasi antara keunggulan kreatif dengan ketidakstabilan mental. Potensi ancaman ketidakstabilan mental berdasarkan ketegori profesi digambarkan sebagai berikut :

Ilmuwan 42,2 %

Pemusik 61,6 %

Negarawan 63 %

Seniman 75 %

Cendekiawan 74 %

Pengarang 90 %

Penelitian lainnya dilakukan oleh Psikiater Kay Redfield Jamison. Berdasarkan survey yang dilakukannya terhadap seniman seperti William Blake, Lord Byron, Dylan Thomas, Virginia Woolf, Ernest Hemingway, menunjukkan beberapa diantaranya pernah lama dirawat di rumah sakit jiwa, dan yang lainnnya, terutama penyair dan pengarang, mengakiri hidupnya dengan bunuh diri.
Apa yang terjadi pada musisi Kurt Cobain, Jim Morrison, Jimmy Hendrix, serta sastrawan Inggris Virginia Woolf dimana hidup mereka berakhir dengan tragis, semakin memperkuat kesimpulan penelitian para ahli tersebut. Fenomena ini digambarkan dengan bagus oleh  MAW Brouwer dan Mira Sidharta (1989) dalam buku  Kegelisahan Seorang Feminis – Sosok Virginia Woolf. Brouwer dan Sidharta mengatakan bahwa sebagaimana dunia yang terbagi atas dunia luar, yaitu dunia benda-benda dan orang-orang yang kita temui sehari-hari, dan dunia batin tempat bersemayamnya khayalan dan pikiran. Diantara dua dunia tersebut terdapat dunia ketiga, bukan alam riil maupun khayalan. Dunia ini disebut realitas transisional, yaitu dunia permainan, kreativitas, dan kesenian. Dalam dunia ketiga itulah  Virginia Woolf mendiami alam eksistensialnya. Suatu ketika kakaknya Vanessa mengeluh karena ia diganti dengan suatu kepribadian khayalan hasil rekaan adiknya. Virginia sering melihat Vanessa dalam wujud khayalan, bukan sebagai pribadi yang nyata. Selama menjadi pengarang Virginia beberapa kali mengalami serangan kegilaan, dan lebih dari satu kali dilaporkan melakukan percobaan bunuh diri. Badan psikis Virgnia adalah badan yang rusak. Kondisi ini menimbulkan rasa minder yang tak terhingga. Dia tidak lagi sanggup merespons lingkungannya dengan positif. Karena orang di sekitarnya tidak menghormati dia sebagai wanita yang pernah divonis gila. Bagi Virginia buku yang ditulisnya bukan sekresi badan seperti keringat atau air liur, tapi dilahirkan dari badan fenomenal melalui suatu proses yang tidak kalah menderita dibanding dengan sakit seorang ibu yang melahirkan bayinya. Virginia sangat peka terhadap kritikan atas karyanya, namun Virginia tanpa sadar telah berusaha menyelamatkan jiwanya dengan mengarang, meskipun akhirnya harus menyerah dengan mengakhiri hidupnya terjun ke sungai Osse.

Para ahli (Zohar, 2000) menyebut fenomena “abnormal” ini sebagai kegilaan berguna, bukan hanya menimbulkan penderitaan berat, tetapi juga kreativitas yang luar biasa.