Piano bukan Musik

Published on

Kalau kita perhatikan, pilihan pendidikan (sekolah) yang paling diminati saat ini, terutama tingkat SLTA, adalah sekolah menengah kejuruan (SMK). Kecenderungan ini setidaknya didadasarkan pada dua alasan. Pertama, adanya keyakinan bahwa lulusan SMK relatif lebih mudah mendapatkan pekerjaan darpada lulusan SMA. Kedua, lewat slogan SMK  ‘bisa!’ pada iklan layanan masyarakat di televisi, menjadi penguat keyakinan tersebut.

Kemudian untuk pendidikan tinggi, saat ini bidang keilmuan atau profesi yang paling banyak animonya adalah teknologi informatika (IT), Kesehatan, Keguruan, dan hukum. Fenomena ini bisa dilihat dengan membludaknya jumlah mahasiswa pada program studi tersebut, baik yang telah lama membuka maupun yang baru memulai. Pilihan ini lagi-lagi dilatarbelakangi oleh pertimbangan kemudahan mendapatkan pekerjaan.

Keputusan untuk memilih dan menentukan masa depan, pada dasarnya merupakan hak masing-masing keluarga atau individu. Tapi, ketika keputusan memilih bidang pendidikan yang sama untuk alasan yang sama pula (kemudahan mendapatkan pekerjaan) menjadi fenomena umum, timbul pertanyaan, seberapa besar peluang dan lapangan kerja untuk lulusan bidang tersebut?. Bila ketersediaan tenaga ahli tersebut masih dibawah ratio kebutuhan dibandingkan dengan jumlah penduduk atau lapangan kerja yang tersedia, maka keputusan tersebut adalah yang semestinya. Tapi manakala ratio maupun jumlah kebutuhan tenaga ahli tersebut sudah terpenuhi, apakah juga berarti tenaga ahli bidang studi lainnya pasti terpenuhi?. Jika belum, siapa dan berapa banyak yang siap menjadi ahli filsafat, psikologi, sosiologi, antropologi, sastra, politik, termasuk agama?. Atau, ada alasan kuat yang bisa menjadi dasar pemikiran bahwa bidang keilmuan yang kurang populer tersebut adalah tidak penting dan tidak diperlukan?.

Untuk dapat memahami apa yang sesungguhnya sedang terjadi dibalik fenomena tersebut, kita perlu merenungkan bahwa sebagaimana sering diwacanakan para ilmuwan bahwa pada dasarnya Ilmu pengetahuan dan teknologi (kimia, fisika, biologi, termasuk IT) adalah bersifat netral, bisa bermanfaat sekaligus juga bisa merusak, tergantung bagaimana menggunakannya. Sudah menjadi bagian dari tradisi dunia ilmu pengetahuan, setelah memberikan perhatian secukupnya terhadap kode etik keprofesian, para ilmuwan akan menyerahkan keputusan penggunaan hasil karyanya kepada para ahli lain seperti ahli ekonomi, politik, militer, budaya dan seterusnya. Kelaziman ini bisa berlangsung karena sebagaimana dikemukakan E.F. Schumacher, ilmu pengetahuan dan teknologi hanya menghasilkan keterampilan teknis (know-how). Ilmu pengetahuan dan teknologi tidak memuat nilai tertentu. Komputer yang paling canggih sekalipun, sepanjang dijalankan sesuai petunjuk dan fungsinya, tidak akan pernah membedakan apakah operatornya seorang polisi atau penjahat. Schumacher melihat keterampilan teknis (know-how) adalah sebagai cara tanpa tujuan, suatu potensi, suatu kalimat yang tidak lengkap. Know-how bukan kebudayaan-seperti halnya piano bukan musik.

Pandangan ini bukan dimaksudkan untuk meremehkan atau mengecilkan arti ilmu pengetahuan dan teknologi bagi kemajuan peradaban dan kemudahan hidup manusia, namun lebih kepada bagaimana memahami arti pendidikan. Pendidikan, masih menurut Schumacher, pada hakekatnya adalah penyebaran nilai-nilai yang pada gilirannya nilai-nilai tersebut menjadi milik kita sendiri. Ketika seseorang berharap menemukan jawaban atas rasa kehilangan orientasi diri atau rasa terbuang dan terkucilkan dengan cara berselancar di internet, maka ketika menemukan yang dicari, yang memberikan jawaban tersebut tentu bukan pakar internet, melainkan psikolog, ahli agama atau setidak orang memiliki pengetahuan tentang hal itu dan menuangkannya dalam blog on line-nya.

Singkat kata, kalau kita ingin mendapatkan pendidikan (bukan keterampilan), sesungguhnya yang kita butuhkan bukanlah bidang yang sedang nge-tren atau yang paling berpeluang mendapatkan pekerjaan, tapi bidang yang mampu memberikan pemahaman tentang arti dan tujuan hidup ini. Bila kita semua memilih menyibukkan diri mendalami keterampilan teknis (demi alasan praktis maupun sekedar ikut-ikutan), lalu siapa yang akan menjadi pemikir?. Lebih tepatnya, siapa yang menjadi penentu arah kehidupan ini?. Apakah masa depan serta nasib generasi penerus diserahkan ke tangan ‘orang lain’?. Sementara kita tahu, pada akhirnya siapa pun kita (seorang ahli, pekerja atau pengangguran) akan ikut memikul konsekuensi keputusan yang diambilnya.

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.