Sigmund Freud pernah mengatakan, tidak ada sesuatupun yang dapat menyimpan rahasia. Jika bibirnya terkunci, ia berbicara dengan ujung-ujung jarinya, pengkhianatan merembes keluar dari setiap pori-porinya.
Jika faktanya seperti itu, berbohong tentu sangatlah sulit kalau tidak bisa disebut tidak mungkin. Sebuah kebohongan sangat mungkin berhasil hanya ketika komunikasi diartikan sebatas aktivitas verbal semata. Pada tataran yang lebih komprehensif dimana komunikasi diartikan sebagai totalitas semua gejala yang menyertainya, baik verbal maupun non verbal, maka berbohong bukan perkara mudah.
Untuk mengetahui seseorang sedang berbohong atau tidak, menurut Shawn C. Shea (1966) dapat diketahui dari apa yang tersirat di wajahnya serta akivitas non verbal dari leher ke bawah. Gejala-gejala yang berlangsung pada tubuh pembohong cenderung menyingkap apa yang ada dipikirannya. Seperti gerakan tangan akan cenderung menurun bila tidak berbohong dan terjadi sebaliknya bila berbohong. Demikian juga dengan ungkapan kata-katanya, tanpa sadar pembohong cenderung memberikan komentar yang memuji diri atau merendahkan diri melebihi kepatutan. Termasuk terjadinya kesleo lidah atau keceplosan, merupakan rembesan dari apa yang sedang disembunyikan. Shea menyebutkan bahwa kebohongan dapat dideteksi melalui paramessages meliputi :
– Kata-kata yang diucapkan
– Nada suara
– Laju berbicara
– Intensitas gerakan tangan
– Ekpspresi muka
Apabila gejala tersebut di atas secara bersamaan dilakukan diluar kelaziman atau kebiasaan seseorang, menjadi indikasi terjadinya kekacauan atau kebohongan.
Dari penjelasan Freud maupun Shea, dapat disimpulkan bahwa sukses berbohong tidak sesederhana yang diperkirakan. Seperti kata pepatah, sepandai-pandai kita menyembunyikannya, bau bangkai pasti akan tercium juga. Kalau terbongkarnya sebuah kebohongan bukan karena waktu, maka keinginan untuk mengubahnya menjadi kebenaran hanyalah ilusi semata.
Tinggalkan komentar